Saturday, December 6, 2008

KISAH PENDIRI MADZHAB HANAFI= ABU HANIFAH AN NU’MAN

ABU HANIFAH AN NU’MAN

Beliau hidup pada masa sesaat sebelum berakhirnya khilafah Bani Umayah dan awal Bani Abasiyah. Imam Malik menggambarkan Abu Hanifah memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas dan tajam wawasannya. Buku sejarah banyak menggambarkan kekuatan argumentasi beliau dalam menghadapi para penentang akidah. Diantara kisah Abu Hanifah adalah beradu argumentasi dengan seorang atheis yang mengingkari eksistensi Al-Khaliq Beliau bercerita:

“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal ter­se­but mengarungi samudera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai rencana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nah­koda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akal­kah cerita ini?” Lantas apa jawab para Athies…. Temukan sendiri jawabannya dengan membaca kisah beliau. Selamat membaca… :)

ABU HANIFAH AN-NU’MAN

Wajahnya tampan dan ceria, fasih bicaranya dan santun tutur katanya. Tidak terlalu tinggi badannya, tidak juga terlalu pen­dek sehingga enak dipandang mata. Di samping itu, beliau suka berpenampilan rapi, wajahnya ceria dan gemar memakai we­wangian. Ketika muncul di tengah-tengah manusia, mereka bisa me­nebak kedatangannya dari bau wanginya sebelum melihat orangnya.

Itulah dia Nu’man bin Tsabit bin Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, orang pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik.

Abu Hanifah masih merasakan hidup sesaat sebelum berakhirnya khilafah Bani Umayah dan awal kekuasaan Bani Abasiyah. Beliau hidup pada suatu masa di mana para khalifah dan para gubernur memanjakan pa­ra ilmuwan dan ulama hingga rejeki datang kepada mereka dari se­gala arah tanpa mereka sadari.

Meski demikian, Abu Hanifah senantiasa menjaga martabat jiwa dan ilmunya dari semua itu. Beliau berusaha konsisten untuk makan dari hasil karyanya sendiri dan menjadikan tangannya selalu di atas (untuk memberi-pent).

Pernah suatu kali Amirul Mukminin Al-Manshur mengundang beliau ke istananya. Sesampainya di istana beliau disambut dengan ramah dan penuh hormat, dipersilakan duduk disamping khalifah Al-Manshur kemudian khalifah bertanya tentang banyak persoalan yang menyangkut agama maupun dunia.

Ketika beliau bermaksud untuk pulang, Amirul Mukminin mengu­lurkan sebuah wadah yang di dalamya berisi uang tiga puluh ribu dir­ham, padahal Al-Manshur dikenal kikir dibanding yang lain. Lalu Abu Hanifah berkata: “Wahai Amirul Mukminin, saya adalah orang asing di Baghdad ini dan tidak memiliki tempat untuk menyimpannya. Maka aku titipkan di Baitul Maal, kelak jika aku memerlukannya, saya akan meminta kepada anda.” Maka Al-Manshur mengabulkan per­mo­honannya. Hanya saja, masa hidup Abu Hanifah tak begitu lama se­telah peristiwa itu. Ketika beliau wafat, ternyata didapatkan di ru­mah­nya harta titipan orang-orang yang jauh lebih besar daripada pemberian Amirul Mukminin.

Tatkala Al-Manshur mendengar berita tersebut, dia berkata, “Se­moga Allah merahmati Abu Hanifah. Dia telah mengelabuhi kita, dia tidak ingin mengambil sesuatupun dari kita, dia menolak pemberianku dengan cara yang halus.”

Ini tidaklah aneh, karena Abu Hanifah memiliki prinsip bahwa ti­dak ada yang lebih bersih dan lebih mulia daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri. Oleh sebab itu, beliau menyediakan waktu khusus untuk berdagang. Beliau berdagang kain dan pakaian, kadang kadang pulang pergi antar kota-kota di Irak. Di samping itu beliau juga memiliki toko pakaian yang terkenal dan banyak dikunjungi orang. Me­reka mendapatkan kejujuran dalam bermuamalah dan amanah dalam memberi dan mengambil. Tidak diragukan lagi bahwa mereka me­rasakan kesenangan tersendiri dari cara muamalah Abu Hanifah., per­niagaan beliau maju berkat karunia Allah S.W.T hingga banyak keun­tu­ngan yang beliau dapat.

Beliau mendapatkan harta dengan cara yang halal lalu membelan­jakan di tempat yang semestinya. Telah menjadi kebiasaan beliau, setiap sampai haul (setiap tahun), beliau menghitung laba yang beliau dapat. Lalu menyisihkan sekedarnya untuk mencukupi kebutuhan pribadi, si­sanya dibelikan berbagai barang untuk diberikan kepada para peng­hafal Al-Qur’an, ahli hadits, ahli fikih dan murid-muridnya baik berupa makanan maupun pakaian. Beliau memberikan hal itu sembari berkata: “Ini adalah laba dari hasil perniagaanku dengan kalian, Allah S.W.T me­lancarkannya di tanganku. Demi Allah, aku tidak memberi kalian de­ngan hartaku sendiri, melainkan karunia Allah untuk kalian yang di­berikan-Nya melalui aku. Pada tiap-tiap rizki tidak ada suatu kekuatan dari seseorang kecuali dari Allah.”

Berita tentang kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masy­­hur di belahan negeri timur maupun barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang biasa bertemu beliau.

Sebagai contohnya, pernah seorang pelanggannya datang ke toko be­liau seraya berkata: “Saya membutuhkan baju “khaz”, wahai Abu Hanifah.” Beliau menjawab: “Apa warna yang Anda kehendaki?” Dia men­jawab: “Yang berwarna ini dan ini.” Beliau berkata: “Bersabarlah sam­­pai saya menemukannya dan akan aku berikan kepada Anda.”

Sepekan setelahnya beliau berhasil mendapatkan kain sesuai pe­sanan. Ketika pemesan tersebut lewat, Abu Hanifah berkata: “Saya su­dah mendapatkan pesanan Anda.” Kemudian beliau menyodorkan pakaian tersebut kepada pemesan dan takjublah pemesan akan keba­gu­sannya lalu bertanya: “Berapa harganya?” Beliau menjawab: “Satu dirham saja.” Pemesan itu dengan keheranan bertanya: “Satu dirham?!” Abu Hanifah menjawab: “Benar.” Orang itu berkata penasaran: “Saya rasa Anda mengolok-olok saya wahai Abu Hanifah.” Beliau berkata: “Saya tidak mengolok-olok anda. Saya membeli baju ini bersamaan dengan baju lain seharga duapuluh dinar lebih satu dirham. Satu baju sudah saya jual seharga duapuluh dinar, jadi kurangnya hanya satu dirham. Saya tak mau mengambil laba dari Anda.”

Pada kasus yang lain, ada seorang wanita tua yang mencari baju “khaz”, kemudian beliau menunjukkan barang yang dimaksud. Lalu wanita itu berkata: “Saya adalah seorang wanita tua yang lemah, tidak pula tahu menahu soal harga, sedangkan ini hanyalah titipan. Maka jual­lah baju itu kepada saya dengan harga yang sama ketika Anda mem­belinya, lalu ambillah sedikit untung darinya, karena saya adalah wanita lemah.”

Abu Hanifah berkata: “Saya membeli baju ini dua potong dalam sa­tu harga. Saya sudah menjual yang sepotong hingga kurang empat dirham saja dari modal saya. Belilah baju ini sehargaempat dirham karena saya tak ingin mendapatkan laba dari Anda.”

Suatu hari beliau melihat pakaian usang dan lusuh yang dikenakan seorang yang menghadiri majlisnya. temannya. Ketika orang-orang telah bubar dan tak ada seorangpun selain beliau dan laki-laki itu, beliau berkata: “Angkatlah alas shalat itu lalu ambillah sesuatu dibawahnya.” Orang itu mengangkat alas yang dimaksud, ternyata ada uang seribu dirham. Abu Hanifah berkata: “Ambillah dan perbaiki penampilan anda.” Orang itu menjawab: “Saya adalah orang yang mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkan nikmat-Nya untuk saya. Saya tidak membutuhkannya.” Abu Hanifah berkata: “Jika Allah telah mem­berikan nikmat-Nya atas Anda, lantas manakah bekas nikmat yang An­da tampakkan? Belum sampaikah kepada anda sabda Rasulullah: “Allah suka melihat bekas-bekas nikmat-Nya atas para hamba-Nya,” sudah sepantasnya Anda memperbagus penampilan Anda agar tidak menyusahkan teman Anda.”

Kedermawanan Abu Hanifah dan perlakuan baiknya kepada orang lain mencapai klimaksnya, hingga setiap kali beliau memberikan belanja kepada keluarganya, beliau juga menginfakkan jumlah yang sama kepada orang-orang yang membutuhkan. Setiap kali beliau memakai baju baru, beliau juga membelikan pakaian untuk orang-orang miskin sebesar harga bajunya. Jika diletakkan makanan di hadapannya, beliau sisihkan separuhnya untuk diberikan kepada orang-orang fakir.

Diriwayatkan pula bahwa beliau telah bertekad setiap kali ber­sum­pah kepada Allah di tengah pembicaraannya, beliau akan bersedekah dengan satu dirham perak. Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pem­bicaraannya. Namun jika sumpahnya menjadi kenyataan, dia se­dekah lagi sebanyak satu dinar.

Salah satu rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafsh bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke se­ba­gian kota-kota di Irak. Suatu kali Abu Hanifah memberikan daga­ngan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya. Beliau berkata: “Jika Anda bermaksud untuk menjualnya, maka beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya.”

Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia telah ber­usaha mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada ca­catnya tersebut, namun hasilnya nihil. Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, juga tidak memungkinkan diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, beliau merasa tidak tenang hingga akhirnya beliau sedekahkan seluruh hasil penjualan barang yang dibawa Hafsh.

Di samping itu, Abu Hanifah juga pandai bergaul. Majelisnya dipe­nuhi orang dan dia bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang memusuhinya. Salah seorang sahabatnya mengisahkan: “Aku mendengar Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri: “Wahai Abu Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Aku tak pernah mendengarnya menyebutkan satu keburukan pun tentang musuhnya.” Sufyan Ats-Tsauri menjawab: “Abu Hanifah cu­kup berakal untuk sehingga tidak akan membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya. “

Di antara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, beliau segera menghampirinya dan bertanya tentang kebu­tuhannya. Bila dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan mem­berinya, kalau sakit maka akan beliau antarkan dan jika memiliki hutang maka beliau akan membayarkan sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.

Dengan segala keutamaan yang di sandang oleh Abu Hanifah ter­sebut, beliau juga termasuk orang yang rajin shaum di siang hari dan shalat tahajud di malam harinya. Akrab dengan Al-Qur’an dan istighfar di waktu sahar. Ketekunannya dalam beribadah dilatarbelakangi oleh persitiwa di mana beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar me­reka berkomentar tentang Abu Hanifah: “Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam.” Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata: “Dugaan orang terhadap diriku ternyata berbeda dengan dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah. Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu dengan Allah.”

Mulai hari itu Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk shalat. Setiap kali malam datang dan kegelapan menyelimuti alam, ke­tika semua lambung merebahkan diri. Beliau bangkit mengenakan pa­kaian yang indah, merapikan jenggot dan memakai wewangian. Ke­mudian berdiri di mihrabnya, mengisi malamnya untuk ketaatan ke­pa­da Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur’an, Setelah itu, mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur’an penuh dalam satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan shalat semalam dengan satu ayat saja.

Sebuah iriwayat menyebutkan bahwa tatkala shalat malam secara berulang-ulang Abu Hanifah membaca firman Allah:

“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS Al-Qamar: 46)

Beliau menangis karena takut kepada Allah dengan tangisan yang menyayat hati.

Telah diketahui banyak orang bahwa selama lebih dari empat puluh tahun beliau melakukan shalat fajar dengan wudhu shalat Isya’. Hingga wafat beliau pernah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 7000 kali.

Setiap kali beliau membaca surat Al-Zalzalah, gemetar jasadnya, bergetar hatinya. Dengan memegang jenggotnya, beliau berkata: “Wahai yang membalas sebesar dzarrah kebaikan dengan kebaikan dan sebesar dzarrah keburukan dengan keburukan, selamatkanlah hamba-Mu Nu’man dari api neraka dan jauhkan ia dari apa-apa yang bisa mendekatkan dengan neraka, masukkanlah ia ke dalam luasnya rah­mat-Mu, ya Arhamarrahimin.”

Suatu ketika Abu Hanifah menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata: “Tahukah kalian, siapa dia?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Dialah Nu’mam bin Tsabit, yang seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”

Tidaklah dikatakan berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki ke­kuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas dan tajam wa­wasannya.

Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argu­men, begitu pula ketikam menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik: “Seandainya dia menga­takan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan mem­be­nar­kannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyata­an­nya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan adu argumentasi untuk membela kebenaran?”

Sebagai bukti, ada seorang laki-laki dari Kufah yang disesatkan oleh Allah S.W.T. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islam­nya.

Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjum­painya dan berkata: “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang bernama fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata: “Selamat atas kedatangan anda. Orang seperti anda tidak layak ditolak keper­luannya wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?” Be­liau menja­wab: “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di te­ngah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah , meng­habiskan malam dengan satu rukuk dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah S.W.T.”

Laki-laki itu berkata, “Wah..wah.., cukup wahai Abu Hanifah, seba­gian saja dari yang anda sebutkan itu sudah cukup baginya untuk me­­minang seorang puteri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah berkata: “Ha­nya saja ada satu hal yang perlu anda pertimbangkan.” Dia ber­tanya: “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata; “Dia seorang Yahudi.” Men­dengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya: “Yahudi?! Apa­kah anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”

Lalu Abu Hanifah berkata: “Engkau menolak menikahkan puterimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan kerasnya, tapi kau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah S.A.W telah menikahkan kedua puterinya dengan Yahudi (yakni Utsman-pent)?”

Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata: “Astaghfirullah, Aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku ucap­kan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya lontarkan.”

Contoh lain, ada seorang Khawarij bernama Adh-Dhahak Asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata:

Adh-Dhahak : “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”

Abu Hanifah : “Bertaubat dari apa?”

Adh-Dhahak : “Dari pendapat Anda yang membenarkan diada­kan­nya tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.

Abu Hanifah : “Maukah anda berdiskusi dengan saya dalam persoalan ini?”

Adh-Dhahak : “Baiklah, saya bersedia.”

Abu Hanifah : “Bila kita nanti berselisih paham, siapa yang akan men­jadi hakim di antara kita?”

Adh-Dhahak : “Pilihlah sesuka anda.”

Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:

Abu Hanifah : “Engkau menjadi hakim di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya:) “Saya rela kawanmu menjadi ha­kim, apakah engkau juga rela?”

Adh-Dhahak : “Ya saya rela.”

Abu Hanifah : “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah yang bertahkim?”

Maka Orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah katapun.

Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentholan kelom­pok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran sesat di bumi per­nah mendatangi Abu Hanifah seraya berkata,

Jahm : “Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”

Abu Hanifah : “Berdialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang engkau bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala”

Jahm : “Bagaimana bisa anda memvonis saya demikian, pada­hal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum mendengar pendapat-pendapat saya?”

Abu Hanifah : “Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).

Jahm : “Anda menghakimi saya secara sepihak?”

Abu Hanifah : “Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.

Jahm : “Saya tidak ingin membicarakan atau menanyakan apa-apa ke­cuali tentang keimanan.”

Abu Hanifah : “Apakah hingga saat ini kamu belum tahu juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakannya kepada saya?”

Jahm : “Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya.”

Abu Hanifah : “Keraguan dalam keimanan adalah kufur.”

Jahm : “Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”

Abu Hanifah : “Silakan bertanya!”

Jahm : “Telah sampai kepadaku tentang seseorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihu­kumi mukmin atau kafir?”

Abu Hanifah : “Dia mati dalam keadaan kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk menga­takannya.”

Jahm : “Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya?”

Abu Hanifah : “Bila anda beriman kepada Al-Qur’an dan mau men­jadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan bicara. Ta­­pi jika engkau tidak beriman kepada Al-Qur’an dan tidak me­makai­nya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang Islam.”

Jahm : “Bahkan saya mengimani Al-Qur’an dan menjadi­kannya sebagai hujjah.”

Abu Hanifah : “Sesungguhnya Allah S.W.T menjadikan iman atas dua sen­di, yaitu dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu saja da­ri­nya. Kitabullah dan hadits Rasulullah jelas-jelas menyatakan hal itu:

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepa­-daRasul(Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah ber-iman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad S.A.W). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?” Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (QS Al Maidah: 83-85)

Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menya­ta­kannya dengan lisan, maka Allah S.W.T memasukkannya ke dalam jan­nah yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah juga berfirman:

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” ( QS Al-Baqarah: 136)

Allah menyuruh mereka untuk mengucapkannya dengan lisan, ti­dak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja. Begitupula dengan ha­dits Rasulullah S.A.W:

“Ucapkanlah, Laa ilaaha illallah, niscaya kalian akan beruntung.”

Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.

Rasulullah bersabda:

“Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah..”

Dan Nabi tidak mengatakan: “Akan dikeluarkan dari api neraka barangsipa yang mengenal Allah S.W.T.”

Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukan dan cukup hanya de­ngan sekedar pengetahuan, niscaya iblis juga termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakan diri­nya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. Allah berfirman tatkala menirukan perkataannya:

“Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raf: 12)

Kemudian:

“Berkata iblis: “Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” (QS Al-Hijr: 36)

Juga firman Allah:

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,” (QS Al-A’raf: 16)

Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.

Firman Allah S.W.T :

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (me-reka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” (QS An-Naml: 14).

Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.

Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Al-Qur’an dan adakalanya de­ngan hadits-hadits. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata: “Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.

Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi Al-Khaliq . Beliau bercerita kepada mereka:

“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal ter­se­but mengarungi samudera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai rencana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nah­koda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akal­kah cerita ini?”

Mereka berkata: “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bi­­­sa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipun, wahai syeikh.” Lalu Abu Hanifah berkata: “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang dan benda-benda langit serta burung yang beter­bangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan menga­turnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang mem­buat kalian ingkar kepada Allah?”

Begitulah, Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan argumen yang dianuge­rah­kan Al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang dengan argumentasi yang tepat.

Tatkala ajaln menjemputnya, ditemukan wasiat beliau yang ber­pe­san agar dikebumikan di tanah yang baik, jauh dari segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghashab.

Ketika wasiat tersebut terdengar oleh Amirul Mukminin Al-Man­shur beliau berkata: “Siapa lagi orang yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”

Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak diman­dikan oleh Al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesan­nya, Ibnu Amarah berkata, “Semoga Allah S.W.T merahmati anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shaum selama tiga pu­luh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat pu­luh tahun, dan kepergian anda akan membuat lesu para fuqaha se­te­lah Anda.”

Sumber: Pustaka At Tibyan, Solo, Jejak Para Tabi’in

No comments: