Sunday, May 19, 2013

Curhat ulama besar Imam As Syatibi, part2



Izzuddin bin Abdussalam mengatakan bahwa doa untuk khulafaur rasyidin dalam khutbah adalah bid'ah yang tidak disenangi.
Terkadang aku juga dikatakan telah durhaka kepada para imam lantaran aku tidak menyebutkan mereka pada khutbah, padahal penyebutan mereka dalam khutbah adalah perbuatan baru yang tidak pernah dilakukan oleh orang terdahulu.
Terkadang mereka mengatakan bahwa aku memberatkan diri dalam urusan agama, karena aku konseksuen dalam hukum dan fatwa serta memakai madzhab-madzhab besar yang sudah diketahui keabsahannya. Padahal, aku tidak melebih-lebihkannya, dan justru mereka yang melampaui batas serta memberikan fatwa dengan sesuatu yang mudah bagi yang bertanya dan sesuai dengan hawa nafsu mereka, walaupun fatwa tersebut cacat dalam pandangan madzhab yang diakui atau madzhab yang lain. Para imam dan ulama besar pun berbeda pendapat dengan pendapat tersebut. Masalah ini akan dipaparkan di dalam kitab Al Muwafaqat.2

Terkadang aku digolongkan dalam jajaran orang yang memusuhi para wali Allah, lantaran aku memusuhi sebagian orang fakir yang melakukan bid'ah dan melanggar Sunnah Nabi SAW tetapi merasa telah mendapatkan hidayah Allah. Aku katakan kepada khalayak ramai bahwa orang yang merasa telah menyerupai ahli sufi sama sekali tidak akan bisa menyerupai.
Terkadang aku dikatakan sebagai orang yang menyalahi ANus-Sunnah wal Jama’ah, sebab kelompok yang diperintahkan untuk diikuti adalah al firqah an-najiyah. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya kelompok itu adalah kelompok yang mengikuti jejak Nabi SAW, para sahabat, dan para pengikut mereka yang baik. Keterangan tentang pembahasan ini insya Allah akan dijelaskan.

Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan bohong terhadapku atau mereka ragu dengan hal ini. Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.
Posisiku saat itu seperti posisi Abdurrahman bin Al Bath Al Hafizh
2 Karangan lain karya penulis dalam ilnui ushul.
dengan orang-orang pada zamannya. la bercerita:

Semua mengherankanku, baik saat aku dalam perjalanan maupun tidak, baik ketika bersama orang-orang dekatku maupun ketika bersama orang-orang yang jauh, baik yang telah aku kenal maupun yang tidak aku kenal sebelumnya.
Sungguh, ketika di Makkah, Khurasan, dan tempat-tempat lainnya, aku melihat penyimpangan. Pelakunya mengajakku untuk mengikuti hal-hal yang mereka yakini, membenarkan, dan menjadi saksinya. Apabila aku membenarkan perkataan dan perbuatan mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini, maka mereka memberiku julukan muwafiq, yaitu orang yang cocok atau yang bersesuaian. Namun, apabila aku mengkritik satu huruf dari ungkapan mereka, mereka menamakanku mukhalif, yaitu orang yang melakukan penyimpangan.

Apabila aku mengatakan bahwa Al Qur’an dan Sunnah bertentangan dengan salah satu hal yang mereka yakini, maka mereka mengatakan bahwa aku kharijan, yaitu orang yang keluar dari ajaran.
Apabila aku membacakan sebuah hadits yang berkenaan dengan ilmu tauhid, maka mereka menamakanku musyabbih, yaitu golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-makhluk dan menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang baru.

Dalam hal ru'yah, mereka menamakanku salim, yaitu golongan yang berserah kepada apa yang didapatkan lewat mimpi.
Dalam keimanan mereka menamakanku murji'i, yaitu golongan yang tenang hatinya karena janji Allah atas dirinya.
Dalam masalah aktivitas makhluk, mereka menamakanku qadari, yaitu golongan yang mendasarkan setiap aktivitas makhluk pada ketetapan Allah.
Dalam ilmu ma'rifat mereka menamakanku karamiyan, yaitu golongan yang berkewajiban adanya karamah pada diri seseorang karena sesuatu.
Apabila membicarakan keutamaan Abu Bakar dan Umar, mereka
menamakanku nashibiyyan, yaitu golongan yang membenci Ali RA.
Apabila membicarakan keutamaan ahli bait (keluarga Nabi), mereka menamakanku rafhidiyan, yaitu golongan yang menolak Zaid bin Ali.

Apabila aku diam terhadap ayat Al Qur'an atau hadits dan tidak menjawab pertanyaan tentang keduanya kecuali dengan keduanya juga, maka mereka menamakanku zhahiriyyan, yaitu golongan yang menghukumi sesuatu dengan zhahir nash. Namun jika aku menjawab dengan selain keduanya, maka mereka menamakanku batiniyan, yaitu golongan yang menghukumi sesuatu dengan hal-hal yang tersirat dalam nash. Apabila aku menjawabnya dengan takwil, maka mereka menamakanku asy'ariyan, yaitu orang yang mengikuti kelompok Al Asya'irah. Apabila aku menentangnya, maka mereka menamakanku mu'taziliyan, yaitu golongan yang keluar dari golongan lainnya karena prinsip.
Apabila dalam Sunnah Nabi, seperti masalah qira'ah (bacaan), mereka menamakanku syaf'awiyan, yaitu pengikut kelompok Syafawiyah.
Apabila dalam masalah doa qunut3, mereka menamakanku hanafiyan, yaitu pengikut kelompok Imam Abu Hanifah An-Nu'man.
Apabila dalam perkara Al Qur’an, mereka menamakanku Hambaliyan, yaitu orang yang mengikuti kelompok Imam Ahmad bin Hambal.
Apabila aku menyebutkan kekuatan dalil dari semua madzhab karena tidak ada pilih kasih dalam madzhab, maka mereka berkata, "la tdah mencela kesuciannya."

Yang lebih mengherankan lagi, mereka memberiku penamaan dari hadits-hadits Rasulullah SAW yang mereka bacakan kepadaku sesuka hati mereka. Seandainya sebagian dari mereka sepakat denganku, walaupun sebagian lainnya memusuhiku, apabila aku membujuk dan membohongi kelompok mereka, maka aku memancing kemurkaan Allah SWT. Padahal
3 Yang dimaksud adalah qunut yang selalu dalam shalat witir. Sedangkan doa qunut pada shalat Subuh dilakukan madzhab Syafi'i.
tidak sesuatu pun yang kubutuhkan selain dari Allah. Sesungguhnya aku berpegang kepada Al Qur'an dan hadits dan aku memohon ampun kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia, dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

No comments: