Izzuddin bin Abdussalam mengatakan bahwa doa untuk
khulafaur rasyidin dalam khutbah adalah bid'ah yang tidak disenangi.
Terkadang
aku juga dikatakan telah durhaka kepada para imam lantaran aku tidak
menyebutkan mereka pada khutbah, padahal penyebutan mereka dalam khutbah adalah
perbuatan baru yang tidak pernah dilakukan oleh orang terdahulu.
Terkadang mereka mengatakan
bahwa aku memberatkan diri dalam urusan agama, karena aku konseksuen dalam
hukum dan fatwa serta memakai madzhab-madzhab besar yang sudah diketahui
keabsahannya. Padahal, aku tidak melebih-lebihkannya, dan justru mereka yang
melampaui batas serta memberikan fatwa dengan sesuatu yang mudah bagi yang
bertanya dan sesuai dengan hawa nafsu mereka, walaupun fatwa tersebut cacat
dalam pandangan madzhab yang diakui atau madzhab yang lain. Para imam dan ulama
besar pun berbeda pendapat dengan pendapat tersebut. Masalah ini akan
dipaparkan di dalam kitab Al Muwafaqat.2
Terkadang aku digolongkan dalam
jajaran orang yang memusuhi para wali Allah, lantaran aku memusuhi sebagian
orang fakir yang melakukan bid'ah dan melanggar Sunnah Nabi SAW tetapi merasa
telah mendapatkan hidayah Allah. Aku katakan kepada khalayak ramai bahwa orang
yang merasa telah menyerupai ahli sufi sama sekali tidak akan bisa menyerupai.
Terkadang aku dikatakan sebagai
orang yang menyalahi ANus-Sunnah wal Jama’ah, sebab kelompok yang
diperintahkan untuk diikuti adalah al firqah an-najiyah. Mereka tidak
tahu bahwa sesungguhnya kelompok itu adalah kelompok yang mengikuti jejak Nabi
SAW, para sahabat, dan para pengikut mereka yang baik. Keterangan tentang
pembahasan ini insya Allah akan dijelaskan.
Mereka melontarkan
tuduhan-tuduhan bohong terhadapku atau mereka ragu dengan hal ini. Segala puji
bagi Allah dalam setiap keadaan.
Posisiku saat itu seperti posisi
Abdurrahman bin Al Bath Al Hafizh
2 Karangan lain karya penulis dalam ilnui ushul.
dengan orang-orang pada zamannya. la bercerita:
Semua mengherankanku, baik saat
aku dalam perjalanan maupun tidak, baik ketika bersama orang-orang dekatku
maupun ketika bersama orang-orang yang jauh, baik yang telah aku kenal maupun
yang tidak aku kenal sebelumnya.
Sungguh, ketika di Makkah,
Khurasan, dan tempat-tempat lainnya, aku melihat penyimpangan. Pelakunya
mengajakku untuk mengikuti hal-hal yang mereka yakini, membenarkan, dan menjadi
saksinya. Apabila aku membenarkan perkataan dan perbuatan mereka, seperti yang
dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini, maka mereka memberiku julukan muwafiq,
yaitu orang yang cocok atau yang bersesuaian. Namun, apabila aku mengkritik
satu huruf dari ungkapan mereka, mereka menamakanku mukhalif, yaitu
orang yang melakukan penyimpangan.
Apabila aku mengatakan bahwa Al
Qur’an dan Sunnah bertentangan dengan salah satu hal yang mereka yakini, maka
mereka mengatakan bahwa aku kharijan, yaitu orang yang keluar dari
ajaran.
Apabila aku membacakan sebuah
hadits yang berkenaan dengan ilmu tauhid, maka mereka menamakanku musyabbih,
yaitu golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-makhluk dan
menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang baru.
Dalam hal ru'yah, mereka
menamakanku salim, yaitu golongan yang berserah kepada apa yang
didapatkan lewat mimpi.
Dalam keimanan mereka
menamakanku murji'i, yaitu golongan yang tenang hatinya karena janji
Allah atas dirinya.
Dalam
masalah aktivitas makhluk, mereka menamakanku qadari, yaitu golongan
yang mendasarkan setiap aktivitas makhluk pada ketetapan Allah.
Dalam
ilmu ma'rifat mereka menamakanku karamiyan, yaitu golongan yang
berkewajiban adanya karamah pada diri seseorang karena sesuatu.
Apabila membicarakan keutamaan
Abu Bakar dan Umar, mereka
menamakanku nashibiyyan, yaitu golongan yang
membenci Ali RA.
Apabila membicarakan keutamaan
ahli bait (keluarga Nabi), mereka menamakanku rafhidiyan, yaitu golongan
yang menolak Zaid bin Ali.
Apabila aku diam terhadap ayat
Al Qur'an atau hadits dan tidak menjawab pertanyaan tentang keduanya kecuali
dengan keduanya juga, maka mereka menamakanku zhahiriyyan, yaitu
golongan yang menghukumi sesuatu dengan zhahir nash. Namun jika aku menjawab
dengan selain keduanya, maka mereka menamakanku batiniyan, yaitu
golongan yang menghukumi sesuatu dengan hal-hal yang tersirat dalam nash.
Apabila aku menjawabnya dengan takwil, maka mereka menamakanku asy'ariyan, yaitu
orang yang mengikuti kelompok Al Asya'irah. Apabila aku menentangnya, maka
mereka menamakanku mu'taziliyan, yaitu golongan yang keluar dari
golongan lainnya karena prinsip.
Apabila dalam Sunnah Nabi,
seperti masalah qira'ah (bacaan), mereka menamakanku syaf'awiyan, yaitu
pengikut kelompok Syafawiyah.
Apabila dalam masalah doa qunut3,
mereka menamakanku hanafiyan, yaitu pengikut kelompok Imam Abu Hanifah
An-Nu'man.
Apabila
dalam perkara Al Qur’an, mereka menamakanku Hambaliyan, yaitu orang yang
mengikuti kelompok Imam Ahmad bin Hambal.
Apabila
aku menyebutkan kekuatan dalil dari semua madzhab karena tidak ada pilih kasih
dalam madzhab, maka mereka berkata, "la tdah mencela kesuciannya."
Yang lebih mengherankan lagi,
mereka memberiku penamaan dari hadits-hadits Rasulullah SAW yang mereka bacakan
kepadaku sesuka hati mereka. Seandainya sebagian dari mereka sepakat denganku,
walaupun sebagian lainnya memusuhiku, apabila aku membujuk dan membohongi
kelompok mereka, maka aku memancing kemurkaan Allah SWT. Padahal
3 Yang
dimaksud adalah qunut yang selalu dalam shalat witir. Sedangkan doa qunut
pada shalat Subuh dilakukan madzhab Syafi'i.
tidak sesuatu pun yang kubutuhkan selain dari Allah.
Sesungguhnya aku berpegang kepada Al Qur'an dan hadits dan aku memohon ampun
kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia, dan Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang
No comments:
Post a Comment