Saturday, December 7, 2013

Fikih Thoharoh : Syarah Bulughul Maram bag.3

Syarah Bulughul Maram (bagian Ketiga), Al-Ustadz Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ , فِي الْبَحْرِ : (( هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ , الْحِلُّ مَيْتَتَهُ )). أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ , وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ , وَصَحَّحَهُ ابْنُ خَزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ.
1. “Dari Abu Hurairah -radhiyallahu‘anhu- beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda tentang laut : “ Dia (laut) adalah yang airnya mensucikan, (dan) halal bangkainya”. Dikeluarkan oleh Al-Arba’ah dan Ibnu Abi Syaibah dan lafazh (hadits) baginya dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzy. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :
بَابُ الْمِيَاهِ
(Bab Tentang Air-air)
Syarah Bab artinya adalah pintu.
مِيَاهٌ (miyah) adalah kata jamak dari مَاءٌ (ma’un) yang asalnya adalah مُوْهٌ (muhun) makanya ketika dijamak ha’-nya dinampakkan. Jadi بَابُ الْمِيَاهِ artinya pintu yang bisa mengantar kepada hukum-hukum seputar air.
Lihat : Al-Majmu’ 1123, Al-I’lam 1270, Al-Mubdi’ 132, Subulus Salam 113, dan Nailul Author 123.


Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :
1. عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ , فِي الْبَحْرِ : (( هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ , الْحِلُّ مَيْتَتَهُ )). أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ , وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ , وَصَحَّحَهُ ابْنُ خَزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ.
1. “Dari Abu Hurairah -radhiyallahu‘anhu- beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda tentang laut : “ Dia (laut) adalah yang airnya mensucikan, (dan) halal bangkainya”. Dikeluarkan oleh Al-Arba’ah dan Ibnu Abi Syaibah dan lafazh (hadits) baginya dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzy. Takhrijul Hadits
Hadits Shohih. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al-Muwaththo` no. 12 dan dari jalannya Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 116 dan Musnad Asy-Syafi'iy hal. 7, Ahmad 2237, 36661, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 1131, Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir 3479, Abu Daud no. 83, At-Tirmidzy no. 69, An-Nasa`i no. 59, 332, 4350, Ibnu Majah no. 386, Ad-Darimy no. 729, 2011, Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thohur no. 231, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 43, Ibnu Mundzir dalam Al-Ausath 1247 no. 158, Ibnu Khuzaimah no. 111, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1240, Al-Hakim 1140-141 dan dalam ‘Ulumul Hadits hal. 87, Al-Baihaqy 1/3, 9/252 dan dalam Al-Ma’rifah no. 2, Al-Jauhary dalam Musnad Al-Muwaththo` no. 441, Ath-Thusy dalam Mukhtashor Al-Ahkam no. 60, Al-Baghawy dalam Syarhu As-Sunnah no. 281, Ibnu Jauzy dalam At-Tahqiq no. 3, 5, Ibnu ‘Abdil Barr 16 , Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya 1317, 59810 (Foto copy manuskrip Maktabah Azh-Zhohiriyah)[1], Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikh-nya 7139, 9129, Al-Jauzaqony dalam Al-Abathil no. 331, Ibnu Basykawal dalam Ghawamidil Asma’ wal Mubhamah 2555, Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal 10481 dan Adz-Dzahaby dalam Mu’jam Asy-Syuyukh 298-99. Semuanya dari jalan Malik bin Anas dari Shafwan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah min Alu Bani Al-Azraq dari Al-Mughirah bin Abi Burdah min Bani ‘Abdid Dar, beliau mendengar Abu Hurairah berkata, …kemudian beliau menyebutkan hadits di atas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam
Hadits ini telah dishohihkan oleh banyak ‘ulama, diantaranya : Al-Bukhary, At-Tirmidzy, Ibnu Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthny, ‘Abdul Haq Al-Isybily, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ibnu Katsir, Ibnul Mulaqqin, Az-Zaila’iy, Ibnu Hajar dan lain-lainnya.
Ibnu Daqiqil ‘Ied dan lain-lainnya menyebutkan bahwa hadits ini ada yang mencacatkannya dengan empat empat ‘illat (cacat). Tapi semua ‘illat itu tidak beralasan sebagaimana yang kami terangkan secara panjang lebar dalam “Takhrij lengkap”.
Dan selain dari Abu Hurairah, hadits ini juga diriwayatkan oleh beberapa shahabat yang lain, yaitu :
1. Jabir bin ‘Abdillah 5. Ali bin Abi Tholib
2. Ibnul Firasy atau Al-Firasy 6. Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
3. Ibnu ‘Abbas 7. Anas bin Malik
4. Abu Bakar Ash-Shiddiq 8. Abdullah bin ‘Umar Walaupun pada sebagian dari delapan riwayat ini ada kelemahan dan sebagian yang lain ada perselisihan tapi kebanyakannya bisa dijadikan sebagai pendukung kuat bagi hadits Abu Hurairah. Semuanya kami uraikan dengan detail dalam “Takhrij lengkap” dan kami sebutkan bahwa yang paling baik dari delapan riwayat di atas adalah hadits Jabir yang lafazhnya sebagai berikut :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ مَاءِ الْبَحْرِ قَالَ : (( هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ , الْحِلُّ مَيْتَتَهُ )).
“Sesengguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa’ala alihi wa sallam ditanya tentang air laut, beliau berkata : Ia yang airnya mensucikan, (dan) halal bangkainya. ”
Diriwayatkan oleh Ahmad sebagaimana dalam Musnad-nya 3373, Al-‘Ilal wa Ma’rifatur rijal no. 4082 dan Masa’il riwayat Ibnu Hani’ no. 27, Ibnu Jarud no. 879, Ibnu Majah no. 388, Ibnu Khuzaimah no. 112, Ibnu Hibban no. 1244, Ad-Daruquthny 134, Al-Baihaqy 1253-254, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah no. 9229, Al-Khatib 14398 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq 131 dan sanadnya hasan. Berkata Ibnus Sakan : “Hadits Jabir adalah yang paling shohih dari apa yang diriwayatkan dalam bab”. Lihat Al-Badr Al-Munir 220.
Sababul Wurud
Dalam riwayat Imam Malik, diterangkan sababul wurud hadits ini dan lafazh sebagai berikut :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ , الْحِلُّ مَيْتَتَهُ )).
“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam lalu berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mengarungi lautan dan kami membawa sedikit dari air, apabila kami berwudhu dengannya kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengannya ? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda : Ia adalah yang airnya mensucikan, halal bangkainya. ”
Lughatul Hadits Kata (arab 15) (laut) dalam hadits, menurut ahli bahasa adalah air yang banyak, asin maupun tawar.
Lihat : Lisanul Arab, Al-Badr Al-Munir 240, Subulus Salam 114-15 dan ‘Aunul Ma’bud 1152. Tapi yang diinginkan dengan Al-Bahr dalm hadits adalah air laut yang asin, karena air tawar itu tidaklah dipermasalahkan, air tawar tidak ada perbedaannya dengan air yang dipakai oleh kebanyakan manusia, berbeda dengan air asin – rasa asin, pahit dan baunya tidak enak”. Demikian makna keterangan Az-Zarqany sebagaimana dalam Tuhfatul Ahwadzy 1188. Kata طَهُوْرٌ (yang mensucikan) dalam hadits, difathah tho’-nya sehingga berarti air yang dipakai untuk thaharah. Adapun kalau tho’-nya di dommah maka maknanya berarti mashdar yaitu perbuatan yang ia lakukan dalam ber-thaharah itu. Demikian pendapat kebanyakan Ahli Bahasa.
Lihat : Syarah Shahih Muslim Karya An-Nawawy 198, Al-Badr Al-Munir 241, Subulus Salam 115 dan Áunul Ma’bud 1153. Kandungan Faidah Hadits
Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah thaharah dan ia mencakup kandungan hukum yang banyak serta kaidah-kaidah yang penting sehingga Imam Asy-Syafi’iy berkata : “Hadits ini adalah seperdua ilmu thaharah”. Demikian disebutkan oleh Al-Mawardy dalam Al-Hawy dari Al-Humaidy dari Imam Asy-Syafi’iy. Lihat Al-Majmu’ 1129 dan Al-Badr Al-munir 240. Ada beberapa masalah dan kandungan hukum yang bisa diuraikan dari hadits. Lengkapnya sebagai berikut :
Satu : Hadits ini menunjukkan bahwa air yang suci itu terbagi dua ; air yang thahur dan air yang thahir. Air yang thahur artinya air yang suci dan mensucikan. Dan air thahur ini juga disebut dengan nama air yang thohir muthahhir (yang suci lagi mensucikan).
Dan air yang thohir artinya air yang suci.
Perbedaan antara air yang thahur dan air yang thohir, kalau air yang thahur bisa dimanfaatkan/digunakan karena ia suci dan bukan najis, dan juga bisa dipakai bersuci/ber-thaharah. Adapun air yang thohir hanya suci, bisa dimanfaatkan/digunakan tapi tidak bisa dipakai ber- thaharah.
Sisi pendalilan dari hadits yang menunjukkan pembagian air ini, yaitu karena shahabat yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam tidak mempermasalahkan tentang sucinya air laut, yang menjadi masalah baginya apakah air laut itu bisa dipakai untuk bersuci atau tidak. Karena itu konteks pertanyaannya :
“apakah boleh kami berwudhu dengannya ?”.
Berdasarkan hadits ini kebanyakan ‘ulama menyatakan benarnya pembagian di atas dan ada beberapa dalil lain yang menunjukkan tentang benarnya pembagian ini, diantaranya :
Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Anfal ayat 11 :
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“…Dan Dia (Allah) menurunkan kepada kalian air dari langit guna mensucikan kalian”.
Sisi pendalilan : guna dari air yang disebut dalam ayat adalah mensucikan kalian, berarti ada air yang tidak mensucikan.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda menjelaskan salah satu kekhususan yang diberikan kepada beliau :
وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Dan telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan sebagai thahur (suci dan mensucikan)”.
Sisi pendalilan : bumi asalnya sudah suci tapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam dan ummat diberikan kekhususan boleh memakai bumi untuk bersuci/berthaharah yaitu bertayammum dengannya. Maka ini juga menunjukkan adanya sesuatu yang thahur dan ada yang thahir.
Demikian pembagian air yang suci.
Dan kalau ditambah dengan air yang najis maka jadilah pembagian air itu secara umum menjadi tiga ; air yang thahur, air yang thohir, dan air yang najis. Al-Mardawy dalam Al-Inshof menyebutkan bahwa para ‘ulama madzhab Hambaliyah dalam pembagian air ada empat pendapat -dan perkiraan kami bahwa madzhab-madzhab yang lain tidak keluar dari empat ini- :
1. Air terbagi tiga, yaitu thahur, thahir, najis. Ini pendapat yang dipakai oleh jumhur (kebanyakan ‘ulama).
2. Air terbagi dua, yaitu thahir, najis. Dan yang thahir terbagi dua : thahir yang thahur dan thahir yang tidak thahur. Pendapat ini mirip dengan yang pertama.
3. Air terbagi dua, yaitu thahur thahirdan najis. Ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4. Air terbagi empat, yaitu thahur, thahir, najis dan Masykuk fihi (diragukan).
Dan yang benar dari empat pendapat ini tentunya adalah yang pertama sebagaimana yang telah kami terangkan. Wallahu a’lam.
Lihat : Al-Inshof 121-22, Al-Mubdi’ 1/32 dan Syarah Bulughul Maram Syeikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (Transkrip dari kaset).
Dua : dari keterangan di atas, nampak dengan jelas bahwa makna Ath-Thahur dalam hadits adalah Al-Muthahhir (yang mensucikan/yang bisa dipakai bersuci). Dan itu merupakan pendapat jumhur ‘ulama : Malik, Asy-Syafi’iy dan Ahmad.
Lihat : Al-Majmu’ 1129-130, Al-Badr Al-Munir 244-45, dan Syarah As-Sunnah Karya Al-Baghawy 255. Tiga : Hadits ini juga menunjukkan bahwa air itu sepanjang masih berada di atas asal penciptaannya maka hukumnya adalah suci dan mensucikan, sebagaimana air laut, walaupun bau, warna, dan rasanya tidak sama dengan air tawar tapi karena air laut tersebut memang asal penciptaannya demikian maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam menetapkan hukumnya adalah thahur (suci dan mensucikan).
Dari sini bisa diketahui tentang benarnya pembagian para ‘ulama bahwa air itu terbagi dua ; air mutlak dan air muqayyad.
Adapun air mutlak yaitu air yang belum bercampur dengan sesuatu yang lain dan masih berada di atas asal penciptaannya : panas maupun dingin, tawar maupun asin, apakah turun dari langit atau keluar dari bumi, di laut, di sungai, di sumur atau di tempat lainnya.
Air mutlaq inilah yang disebut sebagai air yang thahur atau air yang thahir muthahhir.
Adapun air muqayyad, yaitu air yang telah bercampur dengan sesuatu yang lain dan sesuatu itu mendominasi air tersebut, seperti, air teh, air susu dan lain-lainnya.
Air muqayyad inilah yang disebut sebagai air yang thahir tapi tidak muthahhir.
Dari keterangan di atas jelaslah perbedaan antara air mutlak dan air muqayyad sebagaimana telah jelas perbedaan antara air thahur dan air thahir, yaitu air mutlaq dapat dipakai ber-thaharah dan air yang muqayyad tidak syah dipakai ber-thaharah. Berkata Ibnul Mundzir: “Telah sepakat seluruh ‘ulama yang kami hafal pendapatnya bahwa berwudhu tidaklah boleh dengan air bunga, air pohon dan air ‘ashfar dan tidak boleh ber-thaharah kecuali dengan air mutlaq yang masih menyandang nama air, karena thaharah hanyalah boleh dengan (menggunakan) air“.
Lihat : Al-Mughny 1/15-21, Ma’alim As-Sunan 1/81 dan Syarah As-Sunnah 2/56.
Empat : Hadits ini juga menunjukkan tentang bolehnya berthaharah dengan menggunakan air laut. Bolehnya berthaharah dengan air laut adalah pendapat jumhur ‘ulama bahkan sebagian ‘ulama menukil kesepakatan akan hal tersebut. Namun penukilan ijma' tersebut tidaklah tepat karena Ibnu ‘Abdil Barr dan sebagian ulama yang lain telah menyebutkan bahwa ada sebagian shahabat yang membenci berwudhu dengan air laut.
Setelah diperiksa, memang ada riwayat dari tiga orang shahabat yakni Ibnu ‘Umar, ‘Abdullah bin Amr bin Ash dan Abu Hurairah, dan ada juga riwayat dari dua orang tabi’in yakni Sa’id bin Musayyab dan ‘Abul ‘Aliyah akan tetapi semua riwayat tersebut ada kelemahan padanya kecuali dari Ibnu ‘Umar memang sanadnya shahih, Lafazhnya sebagai berikut :
التَّيَمُّمُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الْوُضُوْءِ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ
“Tayammum lebih saya sukai dari berwudhu dengan air laut”. (Dikeluarkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thahur no 262 dan Ibnu Abi Syaibah 1/131).
Namun riwayat ini tidak menunjukkan haram atau tidak bolehnya berwudhu dengan air laut melainkan hanya menunjukkan bahwa perkara tersebut makruh menurut beliau. Dan seandainya riwayat-riwayat dari para shahabat dan tabi’in tersebut shohih, juga tentunya tidak dapat diterima sebab bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam yang tegas menyatakan bolehnya air laut dipakai bersuci. Berkata Imam Asy-Syaukany : “Dan tidak ada hujjah dalam perkataan shahabat, apalagi kalau menyelisihi hadits marfu’ (dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam) dan Ijma’ (kesepakatan)“. Baca : Al-Mughny 1/16. Al-Majmu’ 1/129, 136-137, Al-Badr Al-Munir 2/44, At-Tamhid 16/221, Tafsir Al-Qurthuby 13/56, Al-Ausath 1/246-249 dan Nailul Authar 1/26.
[1] Sebagian takhrij dalam syarah Bulughul Maram ini ditulis oleh penulis ketika masih menuntut ilmu di negeri Yaman. Maka mohon dimaklumi penyebutnnya.
www. an-nashihah. com/?page=artikel-detail&topik=&artikel=9
sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Al-Ustadz Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

No comments: